Sabtu, 16 Juni 2012

Potret Buram Muslim Rohingya


Populasi Muslim Rohingya di Myanmar tercatat sekitar 4,0 persen atau hanya sekitar 1,7 juta jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut yang mencapai 42,7 juta jiwa. Jumlah ini menurun drastis dari catatan pada dokumen Images Asia: Report On The Situation For Muslims In Burma pada Mei tahun 1997. Dalam laporan tersebut, jumlah umat Muslim di Burma mendekati angka 7 juta jiwa.

Mereka kebanyakan datang dari India pada masa kolonial Inggris di Myanmar. Sepeninggal Inggris, gerakan antikolonialisasi di Burma berusaha menyingkirkan orang-orang dari etnis India itu, termasuk mereka yang memeluk agama Islam. Bahkan, umat Muslim di Burma sering sekali menjadi korban diskriminasi.

Pada tahun 1978 dan 1991, pihak militer Burma meluncurkan operasi khusus untuk melenyapkan pimpinan umat Islam di Arakan. Operasi tersebut memicu terjadinya eksodus besar-besaran dari kaum Rohingya ke Bangladesh. Dalam operasi khusus itu, militer tak segan-segan menggunakan kekerasan yang cenderung melanggar hak asasi manusia.

Selain itu, State Law and Order Restoration Council (SLORC) yang merupakan rezim baru di Myanmar selalu berusaha untuk memicu adanya konflik rasial dan agama. Tujuannya untuk memecah belah populasi sehingga rezim tersebut tetap bisa menguasai ranah politik dan ekonomi.

Pada 1988, SLORC memprovokasi terjadinya pergolakan anti-Muslim di Taunggyi dan Prome. Lalu, pada Mei 1996, karya tulis bernada anti-Muslim yang diyakini ditulis oleh SLORC tersebar di empat kota di negara bagian Shan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim.

Kemudian, pada September 1996, SLORC menghancurkan masjid berusia 600 tahun di negara bagian Arakan dan menggunakan reruntuhannnya untuk mengaspal jalan yang menghubungkan markas militer baru daerah tersebut. Sepanjang Februari hingga Maret 1997, SLORC juga memprovokasi terjadinya gerakan anti-Muslim di negara bagian Karen.

Sejumlah masjid dihancurkan, Alquran dirobek dan dibakar. Umat Islam di negara bagian itu terpaksa harus mengungsi. Burma Digest juga mencatat, pada tahun 2005, telah muncul perintah bahwa anak-anak Muslim yang lahir di Sittwe, negara bagian Rakhine (Arakan) tidak boleh mendapatkan akta kelahiran.

Hasilnya, hingga saat ini banyak anak-anak yang tidak mempunyai akta lahir. Selain itu, National Registration Cards (NRC) atau kartu penduduk di negara Myanmar sudah tidak diberikan lagi kepada mereka yang memeluk agama Islam.

Mereka yang sangat membutuhkan NRC harus rela mencantumkan agama Buddha pada kolom agama mereka.

Bahkan, Pemerintah Myanmar sengaja membuat kartu penduduk khusus untuk umat Muslim yang tujuannya untuk membedakan dengan kelas masyarakat yang lain. Umat Muslim dijadikan warga negara kelas tiga. Umat Islam di negera itu juga merasakan diskriminasi di bidang pekerjaan dan pendidikan.

Umat Islam yang tidak mengganti agamanya tak akan bisa mendapatkan akses untuk menjadi tentara ataupun pegawai negeri.  Tak hanya itu, istri mereka pun harus berpindah agama jika ingin mendapat pekerjaan.

Pada Juni 2005, pemerintah memaksa seorang guru Muslim menutup sekolah swastanya meskipun sekolah itu hanya mengajarkan kurikulum standar, seperti halnya sekolah negeri, pemerintah tetap menutup sekolah itu.

Sekolah swasta itu dituding mengajak murid-muridnya untuk masuk Islam hanya karena sekolah itu menyediakan pendidikan gratis. Selain itu, pemerintah juga pernah menangkap ulama Muslim di Kota Dagon Selatan hanya karena membuka kursus Alquran bagi anak-anak Muslim di rumahnya. Begitulah nasib Muslim Rohingya.

Nasib buruk yang dialami Muslim Rohingya mulai mendapat perhatian dari Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kantor berita Islam, IINA, pada 1 Juni 2011, melaporkan, Sekretariat Jenderal OKI yang bermarkas di Jeddah telah menggelar sebuah pertemuan dengan para pemimpin senior Rohingya. Tujuannya, agar Muslim Rohingya bisa hidup damai, sejahtera, dan memiliki masa depan yang lebih baik.

Dalam pertemuan itu, para pemimpin senior Rohingya bersepakat untuk bekerja sama dan bersatu di bawah sebuah badan koordinasi. Lewat badan koordiansi itulah, OKI mendukung perjuangan Muslim Rohingya untuk merebut dan mendapatkan hak-haknya.

Pertemuan itu telah melahirkan Arakan Rohingya Union (ARU) atau Persatuan Rohingya Arakan. Lewat organisasi itu, Muslim Rohingya akan menempuh jalur politik untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami Muslim Rohingya. Semoga. (rol)



Baca Juga:

0 komentar:

Posting Komentar